CyberLaw
Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya
berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang
berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan
memanfaatkan teknologi internet/elektronik yang dimulai pada saat mulai
"online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang telah
maju dalam penggunaan internet/elektronik sebagai alat untuk memfasilitasi
setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju.
Berikut ini adalah ruang lingkup atau area yang harus
dicover oleh cyberlaw. Ruang lingkup cyberlaw ini akan terus berkembang seiring
dengan perkembangan yang terjadi pada pemanfaatan Internet dikemudian hari.
1. Electronic Commerce.
Pada awalnya electronic commerce (E-Commerce) bergerak
dalam bidang retail seperti perdagangan CD atau buku lewat situs dalam World
Wide Web (www). Tapi saat ini Ecommerce sudah melangkah jauh menjangkau
aktivitas-aktivitas di bidang perbankan dan jasa asuransi yang meliputi antara
lain ”account inquiries”, ”1oan transaction”, dan sebagainya. Sampai saat ini
belum ada pengertian yang tunggal mengenai E-Commerce.
Hal ini disebabkan karena hampir setiap saat muncul bentuk- bentuk baru
dari Ecommerce dan tampaknya E-Commerce ini merupakan salah satu aktivitas
cyberspace yang berkembang sangat pesat dan agresif. Sebagai pegangan
(sementara) kita lihatdefinisi E-Commerce dari ECEG-Australia (Electronic
Cornmerce Expert Group) sebagai berikut: “Electronic commerce is a broad
concept that covers any commercial transaction that is effected via electronic
means and would include such means as facsimile, telex, EDI, Internet and the
telephone”.
Secara singkat E-Commerce dapat dipahami sebagai transaksi perdagangan baik
barang maupun jasa lewat media elektronik. Dalam operasionalnya E-Commerce ini
dapat berbentuk B to B (Business to Business) atau B to C (Business to
Consumers). Khusus untuk yang terakhir (B to C), karena pada umumnya posisi
konsumen tidak sekuat perusahaan dan dapat menimbulkan beberapa persoalan yang
menyebabkan para konsumen agak hati-hati dalam melakukan transaksi lewat
Internet.
Persoalan tersebut antara lain menyangkut masalah mekanisme pembayaran
(payment mechanism) dan jaminan keamanan dalam bertransaksi (security risk).
Mekanisme pembayaran dalam ECommerce dapat dilakukan dengan cepat oleh konsumen
dengan menggunakan ”electronic payment”. Pada umumnya mekanisme pembayaran
dalam E-Commerce menggunakan credit card. Karena sifat dari operasi Internet
itu sendiri, ada masalah apabila data credit card itu dikirimkan lewat server
yang kurang terjamin keamanannya. Selain itu, credit card tidak ”acceptable”
untuk semua jenis transaksi. Juga ada
masalah apabila melibatkan harga dalam bentuk mata uang asing.
Persoalan jaminan keamanan dalam E-Commerce pada umumnya menyangkut
transfer informasi seperti informasi mengenai data-data credit card dan
data-data individual konsumen. Dalam area ini ada dua masalah utama yang harus
diantisipasi yaitu (1) ”identification integrity” yang menyan gkut identitas si
pengirim yang dikuatkan lewat ”digital signature”, dan (2) adalah ”message
integrity” yang menyangkut apakah pesan yang dikirimkan oleh si pengirim itu
benar-benar diterima oleh si penerima yang dikehendaki (intended recipient).
Dalam kaitan ini pula para konsumen memiliki kekhawatiran adanya ”identity
theft”’atau ”misuse of information” dari data-data yang diberikan pihak’
konsumen kepada perusahaan.
Persoalan-persoalan/Aspek-aspek hukum
terkait.
a. Kontrak Persoalan mengenai kontrak
dalam E-Commerce men gemuka karena dalam transaksi ini kesepakatan antara kedua
belah pihak dilakukan secara elektronik. Akibatnya, prinsip-prinsip dalam hukum
kontrak tradisional seperti waktu dan tempat terjadinya suatu kontrak harus
mengalami modifikasi. Sebagai contoh, the UNCITRAL Model Law on Electronic
Commerce dalam Pasal 15 memberikan panduan sebagai berikut :
*
Kecuali
jika disepakati antara originator dan penerima, pengiriman pesan data terjadi
ketika memasuki sistem informasi di luar kendali pencetus atau dari orang yang
mengirim pesan data atas nama originator
*
Kecuali
disepakati lain antara originator dan penerima, waktu penerimaan pesan data
ditentukan sebagai berikut: (a) jika penerima telah menunjuk suatu sistem
informasi untuk tujuan menerima pesan data, penerimaan terjadi: (i) saat pesan
data memasuki sistem informasi yang ditunjuk, atau "pencetus" dari
pesan data berarti seseorang oleh om wh, atau pada yang b ehalf, pesan yang
dimaksudkan data telah dikirim atau dihasilkan sebelum penyimpanan, jika ada,
tetapi tidak termasuk orang yang bertindak sebagai perantara berkenaan dengan
bahwa pesan data "(Art.2c dari UNCITRAL Model Law). "Email" dari
pesan data berarti seseorang yang dimaksudkan oleh originator untuk menerima
pesan data, tetapi tidak termasuk orang yang bertindak sebagai perantara
berkenaan dengan bahwa pesan data (Art.2d dari UNClTRAL Model Law). (ii) jika
pesan data dikirim ke sistem informasi dari penerima yang is.not sistem
informasi menunjuk, pada saat pesan data diambil oleh si alamat tersebut; (b)
jika penerima belum ditentukan sistem informasi , penerimaan terjadi ketika
pesan data memasuki sistem informasi si alamat tersebut.
b. Perlindungan konsumen
Masalah perlindungan konsumen dalam
E-Commerce merupakan aspek yang cukup penting untuk diperhatikan, karena
beberapa karakteristik khas E-Commerce akan menempatkan pihak konsumen pada
posisi yang lemah atau bahkan dirugikan seperti; Perusahaan di Internet (the
Internet merchant) tidak memiliki alamat secara fisik di suatu negara tertentu,
sehingga hal ini akan menyulitkan konsumen untuk mengembalikan produk yang
tidak sesuai dengan pesanan; Konsumen sulit memperoleh jaminan untuk
mendapatkan ”local follow up service or repair”;
Produk yang dibeli konsumen ada
kemungkinan tidak sesuai atau tidak kompatibel dengan persyaratan lokal (loca1
requirements);
c. Pajak (Taxation)
Pengaturan pajak merupakan persoalan
yang tidak mudah untuk diterapkan dalam ECommerce yang beroperasi secara lintas
batas. Masing-masing negara akan menemui kesulitan untuk menerapkan ketentuan
pajaknya, karena baik perusahaan maupun konsumennya sulit dilacak secara fisik.
Dalam masalah ini Amerika telah mengambil sikap bahwa ”no discriminatory
taxation against Internet Commerce”. Namun, dalam urusan tarif (bea masuk)
Amerika mempertahankan pendirian bahwa Internet harus merupakan ”a tariff free
zone”. Sedangkan Australia berpendirian bahwa ”the tariff-free policy” itu
tidak boleh diberlakukan untuk ”tangible products” yang dibayar secara on- line
tapi dikirimkan secara konvensional.
d. Jurisdiksi (Jurisdiction)
Peluang yang diberikan oleh
E-Commerce untuk terbukanya satu bentuk baru perdagangan internasional pada
saat yang sama melahirkan masalah baru dalam penerapan konsep yurisdiksi yang
telah mapan dalam sistern, hukum tradisional. Prinsip-prinsip yurisdiksi
seperti tempat terjadinya transaksi (the place of transaction) dan hukum
kontrak (the law of contract) menjadi usang (obsolete) karena operasi Internet
yang lintas batas. Persoalan ini tidak bisa diatasi hanya dengan upaya-upaya di
level nasional, tapi harus melalui kerjasama dan pendekatan internasional.
e. Digital Signature
Digital signature merupakan salah
satu isu spesifik dalam E-Commerce. Digital signature ini pada prinsipnya
berkenaan dengan jaminan untuk ”message integrity” yang menjamin bahwa si
pengirim pesan (sender) itu benar-benar orang yang b erhak dan bertanggung
jawab untuk itu (the sender is the person whom they purport to be). Hal ini
berbeda dengan ”real signature” yang berfungsi sebagai pangakuan dan penerimaan
atas isi pesan/dakumen, Persoalan hukum yang muncul seputar ini antara lain
berkenaan dengan fungsi dan kekuatan hukum digital signature. Di Amerika saat
ini telah ditetapkan satu undang-undang yang secara formal mengakui keabsahan
digital signature.
f.
Copy
Right.
Internet dipandang sebagai media yang
b ersifat ”low-cost distribution channel” untuk penyebaran informasi dan
produk-produk entertainment seperti film, musik, dan buku. Produk-produk
tersebut saat ini didistribusikan lewat ”physical format” seperti video dan
compact disks. Hal ini memungkinkan untuk didownload secara mudah oleh
konsumen. Sampai saat ini belum ada perlindungan hak cipta yan g cukup memadai
untuk menanggulangi masalah ini.
g. Dispute Settlement
Masalah hukum lain yang tidak kalah
pentingnya adalah berkenaan dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang .cukup
memadai untuk mengantisipasi sengketa yang kemungkinan timbul dari transaksi
elektronik ini. Sampai saat ini belum ada satu mekanisme penyelesaian sengketa
yang memadai baik di level nasional maupun internasional. Sehingga yang paling
mungkin dilakukan oleh para pihak yang bersengketa saat ini adalah
menyelesaikan sengketa tersebut secara konvensional.
Hal ini tentunya menimbulkan
pertanyaan mengingat transaksi itu terjadi di dunia maya, tapi mengapa
penyelesaiannya di dunia nyata. Apakah tidak mungkin untuk dibuat satu mekanisme
pen yelesaian sengketa yang juga bersifat virtual (On-line Dispute Resolution).
2. Domain Name
Domain name dalam Internet secara sederhana dapat diumpamakan seperti
nomor telepon atau sebuah alamat. Contoh, domain name untuk Monash University
Law School, Australia adalah ”law.monash.edu.au”. Domain name dibaca dari kanan ke kiri yang menunjukkan tingkat
spesifikasinya, dari yang paling umum ke yang paling khusus. Untuk contoh di
atas, ”au” menunjuk kepada Australia sebagai geographical region, sedangkan
”edu” artinya pendidikan (education) sebagai Top-level Domain name (TLD) yang
menjelaskan mengenai tujuan dari institusi tersebut. Elemen seIanjutnya adalah
”monash” yang merupakan ”the Second-Level Domain name” (SLD) yan g dipilih oleh
pendaftar domain name, sedangkan elemen yang terakhir ”law” adalah ”subdomain”
dari monash Gabungan antara SLD dan TLD dengan berbagai pilihan subdomain
disebut ”domain name”.
Domain names diberikan kepada
organisasi, perusahaan atau individu oleh InterNIC (the Internet Network
Information Centre) berdasark an kontrak dengan the National Science Foundation
(Amerika) melalui Network Solutions, Inc. (NSI). Untuk mendaftarkankan sebuah
domain name melalui NSI seseorang cukup membuka situs InterNIC dan mengisi
sejumlah form InterNIC akan melayani para pendaftar berdasarkan prinsip ”first come first served”. InterNIC
tidak akan memverifikasi mengenai ’hak’
pendaftar untuk memilih satu nama tertentu, tapi pendaftar harus menyetujui
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ”NSI’s
domain name dispute resolution policy”. Berdasarkan ketentuan tersebut, NSI
akan menangguhkan pemakaian sebuah domain name yang diklaim oleh salah satu
pihak sebagai telah memakai merk dagang yang sudah terkenal.
Peraturan
dan Regulasi (perbedaan cyberlaw diberbagai negara)
Cyber Law adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari Cyberspace Law,
yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang
perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi
internet yang dimulai pada saat mulai "online" dan memasuki dunia
cyber atau maya. Cyber Law juga didefinisikan sebagai kumpulan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang berbagai aktivitas manusia di
cyberspace (dengan memanfaatkan teknologi informasi).
Ruang lingkup dari Cyber Law meliputi
hak cipta, merek dagang, fitnah/penistaan, hacking, virus, akses Ilegal,
privasi, kewajiban pidana, isu prosedural (Yurisdiksi, Investigasi, Bukti,
dll), kontrak elektronik, pornografi, perampokan, perlindungan konsumen dan
lain-lain.
Model Regulasi
Pertama, membuat berbagai jenis peraturan
perundang-undangan yang sifatnya sangat spesifik yang merujuk pada pola
pembagian hukum secara konservatif, misalnya regulasi yang mengatur hanya
aspek-aspek perdata saja seperti transaksi elektronik, masalah pembuktian
perdata, tanda tangan elektronik, pengakuan dokumen elektronik sebagai alat
bukti, ganti rugi perdata, dll., disamping itu juga dibuat regulasi secara
spesifik yang secara terpisah mengatur tindak pidana teknologi informasi
(cybercrime) dalam undang-undang tersendiri.
Kedua, model regulasi komprehensif yang
materi muatannya mencakup tidak hanya aspek perdata, tetapi juga aspek
administrasi dan pidana, terkait dengan dilanggarnya ketentuan yang menyangkut
penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Pada negara yang telah maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk
memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya
sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek hukum ini, Amerika
Serikat merupakan negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum yang
mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
1. Cyber Law di Amerika
Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan
Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA diadopsi oleh National
Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL) pada tahun 1999.
Secara lengkap Cyber Law di Amerika adalah sebagai berikut:
– Electronic Signatures in Global and
National Commerce Act
– Uniform Electronic Transaction
Act
– Uniform Computer Information
Transaction Act
– Government Paperwork Elimination
Act
– Electronic Communication Privacy
Act
– Privacy Protection Act
– Fair Credit Reporting Act
– Right to Financial Privacy Act
– Computer Fraud and Abuse Act
– Anti-cyber squatting consumer
protection Act
– Child online protection Act
– Children’s online privacy protection
Act
– Economic espionage Act
– “No Electronic Theft” Act
Cyber Law yang mengatur transaksi
elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA
adalah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat
yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws
(NCCUSL). Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin
US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya
adalah untuk membawa ke jalur hukum negara bagian yag berbeda atas
bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan
elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media
perjanjian yang layak.
2. Cyber Law di Singapore
Cyber Law di Singapore, antara lain:
• Electronic Transaction Act
• IPR Act
• Computer Misuse Act
• Broadcasting Authority Act
• Public Entertainment Act
• Banking Act
• Internet Code of Practice
• Evidence Act (Amendment)
• Unfair Contract Terms Act
The Electronic Transactions Act (ETA) 1998
ETA sebagai pengatur otoritas
sertifikasi. Singapore mempunyai misi untuk menjadi poros / pusat kegiatan
perdagangan elektronik internasional, di mana transaksi perdagangan yang
elektronik dari daerah dan di seluruh bumi diproses.
The Electronic Transactions Act telah ditetapkan tgl.10 Juli 1998 untuk
menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi perdagangan
elektronik di Singapore yang memungkinkan bagi Menteri Komunikasi Informasi dan
Kesenian untuk membuat peraturan mengenai perijinan dan peraturan otoritas
sertifikasi di Singapura.
Tujuan dibuatnya ETA :
• Memudahkan komunikasi elektronik atas
pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya;
• Memudahkan perdagangan elektronik,
yaitu menghapuskan penghalang perdagangan elektronik yang tidak sah atas
penulisan dan persyaratan tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan
dari undang-undang dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin
/ mengamankan perdagangan elektronik;
• Memudahkan penyimpanan secara
elektronik tentang dokumen pemerintah dan perusahaan menurut undang-undang, dan
untuk mempromosikan penyerahan yang efisien pada kantor pemerintah atas bantuan
arsip elektronik yang dapat dipercaya;
• Meminimalkan timbulnya arsip
alektronik yang sama (double), perubahan yang tidak disengaja dan disengaja
tentang arsip, dan penipuan dalam perdagangan elektronik, dll;
• Membantu menuju keseragaman aturan,
peraturan dan mengenai pengesahan dan integritas dari arsip elektronik; dan
• Mempromosikan kepercayaan, integritas
dan keandalan dari arsip elektronik dan perdagangan elektronik, dan untuk
membantu perkembangan dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui
penggunaan tandatangan yang elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas
surat menyurat yang menggunakan media elektronik.
Pada dasarnya Muatan ETA mencakup, sbb:
• Kontrak Elektronik
Kontrak elektronik ini didasarkan pada hukum dagang online yang dilakukan
secara wajar dan cepat serta untuk memastikan bahwa kontrak elektronik memiliki
kepastian hukum.
• Kewajiban Penyedia Jasa Jaringan
Mengatur mengenai potensi / kesempatan yang dimiliki oleh network service
provider untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mengambil,
membawa, menghancurkan material atau informasi pihak ketiga yang menggunakan
jasa jaringan tersebut. Pemerintah Singapore merasa perlu untuk mewaspadai hal
tersebut.
• Tandatangan dan Arsip elektronik
Bagaimanapun hukum memerlukan arsip/bukti arsip elektronik untuk
menangani kasus-kasus elektronik, karena itu tandatangan dan arsip elektronik
tersebut harus sah menurut hukum, namun tidak semua hal/bukti dapat berupa
arsip elektronik sesuai yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Singapore.
Langkah yang diambil oleh Singapore
untuk membuat ETA inilah yang mungkin menjadi pendukung majunya bisnis
e-commerce di Singapore dan terlihat jelas alasan mengapa di Indonesia bisnis
ecommerce tidak berkembang karena belum adanya suatu kekuatan hukum yang dapat
meyakinkan masyarakat bahwa bisnis e-commerce di Indonesia aman seperi di
negara Singapore.
3. Cyber Law di Malaysia komputer sebagai diekstrak dari
“penjelasan Pernyataan” dari CCA 1997 :
a)
Berusaha
untuk membuat suatu pelanggaran hukum bagi setiap orang untuk menyebabkan
komputer untuk melakukan apapun fungsi dengan maksud untuk mendapatkan akses
tidak sah ke komputer mana materi.
b)
Berusaha
untuk membuatnya menjadi pelanggaran lebih lanjut jika ada orang yang melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam item (a) dengan maksud untuk melakukan
penipuan, ketidakjujuran atau menyebabkan cedera seperti yang didefinisikan
dalam KUHP Kode.
c)
Berusaha
untuk membuat suatu pelanggaran bagi setiap orang untuk menyebabkan modifikasi
yang tidak sah dari isi dari komputer manapun.
d)
Berusaha
untuk menyediakan bagi pelanggaran dan hukuman bagi komunikasi yang salah
nomor, kode, sandi atau cara lain untuk akses ke komputer.
e)
Berusaha
untuk menyediakan untuk pelanggaran-pelanggaran dan hukuman bagi abetments dan
upaya dalam komisi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada butir (a), (b), (c)
dan (d) di atas.
f)
Berusaha
untuk membuat undang-undang anggapan bahwa setiap orang memiliki hak asuh atau
kontrol apa pun program, data atau informasi lain ketika ia tidak diizinkan
untuk memilikinya akan dianggap telah memperoleh akses yang tidak sah kecuali
jika dibuktikan sebaliknya
Lima cyberlaws telah berlaku pada tahun 1997 tercatat di kronologis
ketertiban. Digital Signature Act 1997 merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan
oleh parlemen Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan
perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda
tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Computer Crimes Act
1997 menyediakan penegakan hukum dengan kerangka hukum yang mencakup akses yang
tidak sah dan penggunaan komputer dan informasi dan menyatakan berbagai hukuman
untuk pelanggaran yang berbeda komitmen.
Para Cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997.
Cyberlaw ini praktisi medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis /
konsultasi dari lokasi jauh melalui menggunakan fasilitas komunikasi elektronik
seperti konferensi video. Berikut pada adalah UndangUndang Komunikasi dan
Multimedia 1998 yang mengatur konvergensi komunikasi dan industri multimedia
dan untuk mendukung kebijakan nasional ditetapkan untuk tujuan komunikasi dan
multimedia industri. The Malaysia Komunikasi dan Undang-Undang Komisi Multimedia
1998 kemudian disahkan oleh parlemen untuk membentuk Malaysia Komisi Komunikasi
dan Multimedia yang merupakan peraturan dan badan pengawas untuk mengawasi
pembangunan dan hal-hal terkait dengan komunikasi dan industri multimedia.
Cyber Law di Malaysia, antara lain:
– Digital Signature Act
– Computer Crimes Act
– Communications and Multimedia
Act
– Telemedicine Act
– Copyright Amendment Act
– Personal Data Protection Legislation
(Proposed)
– Internal security Act (ISA)
– Films censorship Act
The Computer Crime Act 1997
Sebagai negara pembanding terdekat secara sosiologis, Malaysia sejak
tahun 1997 telah mengesahkan dan mengimplementasikan beberapa
perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek dalam cyberlaw seperti UU
Kejahatan Komputer, UU Tandatangan Digital, UU Komunikasi dan Multimedia, juga
perlindungan hak cipta dalam internet melalui amandemen UU Hak Ciptanya.
Sementara, RUU Perlindungan Data Personal kini masih digodok di parlemen
Malaysia.
The Computer Crime Act itu sendiri mencakup mengenai kejahatan yang
dilakukan melalui komputer, karena cybercrime yang dimaksud di negara Malaysia
tidak hanya mencakup segala aspek kejahatan/pelanggaran yang berhubungan dengan
internet. Akses secara tak terotorisasi pada material komputer, adalah termasuk
cybercrime. Hal ini berarti, jika saya memiliki komputer dan anda adalah orang
yang tidak berhak untuk mengakses komputer saya, karena saya memang tidak
mengizinkan anda untuk mengaksesnya, tetapi anda mengakses tanpa seizin saya,
maka hal tersebut termasuk cybercrime, walaupun pada kenyataannya komputer saya
tidak terhubung dengan internet.
Lebih lanjut, akses yang termasuk pelanggaran tadi (cybercrime) mencakup
segala usaha untuk membuat komputer melakukan/menjalankan program (kumpulan
instruksi yang membuat komputer untuk melakukan satu atau sejumlah aksi sesuai
dengan yang diharapkan pembuat instruksi-instruksi tersebut) atau data dari
komputer lainnya (milik pelaku pelanggar) secara aman, tak terotorisasi, juga
termasuk membuat komputer korban untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh pelaku pelanggar tadi.
Hukuman atas pelanggaran The computer Crime Act :
Denda sebesar lima puluh ribu ringgit
(RM50,000) dan atau hukuman kurungan/penjara dengan lama waktu tidak melebihi
lima tahun sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut (Malaysia).
The Computer Crime Act mencakup, sbb:
•Mengakses material komputer tanpa
ijin
•Menggunakan komputer untuk fungsi
yang lain
•Memasuki program rahasia orang lain
melalui komputernya
•Mengubah / menghapus program atau
data orang lain
•Menyalahgunakan program / data orang lain demi kepentingan pribadi
4. Cyber Law di Indonesia
Indonesia telah resmi mempunyai undang-undang untuk mengatur orang-orang
yang tidak bertanggung jawab dalam dunia maya. Cyber Law-nya Indonesia yaitu
undang–undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Di berlakukannya undang-undang ini, membuat oknum-oknum nakal ketakutan
karena denda yang diberikan apabila melanggar tidak sedikit kira-kira 1 miliar
rupiah karena melanggar pasal 27 ayat 1 tentang muatan yang melanggar
kesusilaan. sebenarnya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik) tidak hanya membahas situs porno atau masalah asusila. Total ada 13
Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia
maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Sebagian orang menolak adanya
undang-undang ini, tapi tidak sedikit yang mendukung undang-undang ini.
Dibandingkan dengan negara-negara di atas, indonesia termasuk negara yang
tertinggal dalam hal pengaturan undang-undang ite. Secara garis besar UU ITE
mengatur hal-hal sebagai berikut :
•Tanda tangan elektronik memiliki
kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan
bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan
digital lintas batas).
• Alat bukti elektronik diakui seperti
alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP. • UU ITE berlaku untuk setiap orang
yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di
luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
• Pengaturan Nama domain dan Hak
Kekayaan Intelektual.
• Perbuatan yang dilarang (cybercrime)
dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37): o Pasal 27 (Asusila, Perjudian,
Penghinaan, Pemerasan) o Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita
Kebencian dan Permusuhan) o Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti) o
Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking) o Pasal 31
(Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi) o Pasal 32 (Pemindahan,
Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia) o Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem
Tidak Bekerja (DOS?)) o Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?))
5. Cyber Law di Negara lainnya
• Hongkong:
– Electronic Transaction Ordinance
– Anti-Spam Code of Practices
– Code of Practices on the Identity
Card Number and Other Personal Identifiers
– Computer information systems internet
secrecy administrative regulations
– Personal data (privacy) ordinance
– Control of obscene and indecent
article ordinance
• Philipina:
– Electronic Commerce Act
– Cyber Promotion Act
– Anti-Wiretapping Act
• Australia:
– Digital Transaction Act
– Privacy Act
– Crimes Act
– Broadcasting Services Amendment
(online services) Ac
• UK:
– Computer Misuse Act
– Defamation Act
– Unfair contract terms Act
– IPR (Trademarks, Copyright, Design
and Patents Act)
• South Korea:
– Act on the protection of personal
information managed by public agencies
– Communications privacy act
– Electronic commerce basic law
– Electronic communications business
law
– Law on computer network expansion and
use promotion
– Law on trade administration automation
– Law on use and protection of credit
card
– Telecommunication security protection
act
– National security law
• Jepang:
– Act for the protection of computer
processed personal data held by administrative organs
– Certification authority guidelines
– Code of ethics of the information
processing society
– General ethical guidelines for
running online services
– Guidelines concerning the protection
of computer processed personal data in the private sector
– Guidelines for protecting personal
data in electronic network management
– Recommended etiquette for online
service users
– Guidelines for transactions between
virtual merchants and consumers
6. Cyber Law di beberapa negara khususnya yang berhubungan dengan
e-commerce antara lain:
1. Perlindungan hukum terhadap
konsumen.
• Indonesia
UU ITE menerangkan bahwa konsumen
berhak untuk mendapatkan informasi yang lengkap berkaitan dengan detail produk,
produsen dan syarat kontrak.
• Malaysia
Communications and Multimedia Act
1998 menyebutkan bahwa setiap penyedia jasa layanan harus menerima dan
menanggapi keluhan konsumen.
• Filipina
Electronic Commerce Act 2000 dan
Consumer Act 1991 menyebutkan bahwa siapa saja yang menggunakan transaksi
secara elektronik tunduk terhadap hukum yang berlaku.
2. Perlindungan terhadap data pribadi
serta privasi.
• Singapura
Sebagai pelopor negara ASEAN yang
memberlakukan cyberlaw yang mengatur e-commerce code untuk melindungi data
pribadi dan komunikasi konsumen dalam perniagaan di internet.
• Indonesia
Sudah diatur dalam UU ITE.
• Malaysia & Thailand Masih berupa
rancangan.
3. Cybercrime
Sampai dengan saat ini ada delapan
negara ASEAN yang telah memiliki Cyber Law yang mengatur tentang cybercrime
atau kejahatan di internet yaitu Brunei, Malaysia, Myanmar, Filipina,
Singapura, Thailand, Vietnam dan termasuk Indonesia melalui UU ITE yang
disahkan Maret 2008 lalu.
4. Spam
Spam dapat diartikan sebagai
pengiriman informasi atau iklan suatu produk yang tidak pada tempatnya dan hal
ini sangat mengganggu.
• Singapura
Merupakan satu-satunya negara di
ASEAN yang memberlakukan hukum secara tegas terhadap spammers (Spam Control Act
2007).
• Malaysia & Thailand Masih berupa
rancangan.
• Indonesia
UU ITE belum menyinggung masalah
spam.
5. Peraturan Materi Online / Muatan
dalam suatu situs
Lima negara ASEAN yaitu Brunei,
Malaysia, Myanmar, Singapura serta Indonesia telah menetapkan cyberlaw yang
mengatur pemuatan materi online yang mengontrol publikasi online berdasarkan
norma sosial, politik, moral, dan keagamaan yang berlaku di negara
masing-masing.
6. Hak Cipta Intelektual atau Digital
Copyright
Di ASEAN saat ini ada enam negara
yaitu Brunei, Kamboja, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura yang telah
mengatur regulasi tentang hak cipta intelektual. Sementara negara lainnya masih
berupa rancangan.
7. Penggunaan Nama Domain
Saat ini ada lima negara yaitu
Brunei, Kamboja, Malayasia, Vietnam termasuk Indonesia yang telah memiliki
hukum yang mengatur penggunaan nama domain. Detail aturan dalam setiap negara
berbeda-beda dan hanya Kamboja yang secara khusus menetapkan aturan tentang
penggunaan nama domain dalam Regulation on Registration of Domain Names for
Internet under the Top Level ‘kh’ 1999.
8. Electronic Contracting
Saat ini hampir semua negara ASEAN
telah memiliki regulasi mengenai Electronic contracting dan tanda tangan
elektronik atau electronik signatures termasuk Indonesia melalui UU ITE.
Sementara Laos dan Kamboja masih
berupa rancangan.
ASEAN sendiri memberi deadline Desember 2009 sebagai batas
waktu bagi setiap negara untuk memfasilitasi penggunaan kontrak elektronik dan
tanda tangan elektonik untuk mengembangkan perniagaan intenet atau e-commerce
di ASEAN.
9. Online Dispute resolution (ODR)
ODR adalah resolusi yang mengatur
perselisihan di internet.
• Filipina
Merupakan satu-satunya negara ASEAN
yang telah memiliki aturan tersebut dengan adanya Philippines Multi Door
Courthouse.
• Singapura
Mulai mendirikan ODR facilities.
• Thailand
Masih dalam bentuk rancangan.
• Malaysia
Masih dalam tahap rancangan
mendirikan International Cybercourt of Justice.
• Indonesia
Dalam UU ITE belum ada aturan yang khusus mengatur mengenai perselisihan
di internet. Sementara di negara ASEAN lainnya masih belum ada. ODR sangat
penting menyangkut implementasinya dalam perkembangan teknologi informasi dan
e-commerce.
7. Council of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)
Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime.
The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat
guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related
crime, di mana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang
berjudul Computer-Related Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini berisi
hasil survey terhadap peraturan perundang-undangan Negara-negara Anggota
beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer-related crime
tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi juga memiliki peran
penting dalam kejahatan tersebut.
Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif
melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines
lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa
yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negaranegara Anggota, dengan
tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan
kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut.
Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace
of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah
mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya (
http://www.cybercrimes.net), yang menurut Prof.
Susan Brenner (brenner@cybercrimes.net) dari University of Daytona School
of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana
dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat
dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan
sejenis.
Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime
membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut
seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus
dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
1. Melakukan modernisasi hukum pidana
nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi
internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
2. Meningkatkan sistem pengamanan
jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
3. Meningkatkan pemahaman serta keahlian
aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan
perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
4.
Meningkatkan
kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah
kejahatan tersebut terjadi
Meningkatkan kerjasama antar negara,
baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan
cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance
treaties